Jumat, 30 November 2012

Pengamen Salah Duga



        Terkadang di dalam hidup, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan. Memilih sesuatu yang tepat memang membutuhkan proses. Proses berpikir, menghayati, dan bersikap bijaksana dengan segala keterbatasan; tentu membuat kita semakin dewasa dan menyadari hakikat kehidupan ini. Yah, apa pun aktivitas yang kita lakukan, ga ada yang hina kok, selama itu tidak melanggar norma-norma dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pilihan gue dan Miftah untuk menjadi pengamen yang masuk komplek, keluar komplek adalah pilihan tepat ketika kantong celana sedang kering. Emang waktu itu kita  bener-bener ga punya uang. Gue merasa Nyak belum bisa  memenuhi kebutuhan gue. Padahal kebutuhan gue ga muluk-muluk kok. Gue hanya ingin berkecukupan. Mau makan dan minum cukup, kebutuhan kuliah terpenuhi, bisa jajan, berkecukupan untuk membeli Honda Jazz, emas batangan, rumah gedongan, motor Ninja, dan berbagai aksesoris lainnya. Cuma itu yang gue mau, tapi kenapa Nyak ga bisa memenuhi kebutuhan tersebut? Padahal keinginan gue sederhana kan?

            Memang gue itu tipe orang yang sangat sederhana. Jadi, keinginan gue, yaa segitu aja. Ga kurang, kalau  lebih ga papa, hahaha. Tapi  apa bisa dengan mengamen gue mendapatkan semua keinginan itu? hmm, Udahlah ! Kaga usah lo pikirin keinginan itu. Yang jelas, gue dan Miftah ngamen cuma karena terdesak dan bukan profesi kita sesungguhnya. Yah,  lo taulah gue penulis, sementara Miftah pemain drum di salah satu band yang pasti lo ga tau nama bandnya, personilnya siapa, dan lagunya bagaimana. Emang band itu masih abstrak banget. Gimana ga abstrak coba? Mereka itu ngebandnya angin-anginan. Kalau lagi semangat, tiap hari ke studio; tapi kalau lagi madesu, ngumpul aja kaga. Gue juga ragu mereka pernah nyiptain lagu atau engga. Soalnya setiap ngeband, lagu yang dimainin itu itu mulu, ga pernah ganti. Udah gitu, si Buduk yang katanya sang gitaris, kalau lagi ngeband; disibukan dengan HP. Hahaha lo mau ngeband apa SMSan?! Katanya si lagi SMSan sama Lisa anaknya pak Lurah. Biasalah, Buduk mah modus gembel.  Padahal gue udah tau, kalau Lisa ga bakal mau sama tuh bocah. Gue tau, bukan berarti gue punya ilmu hitam kayak Ki Joko Oon, atau karena Lisa pernah ngasih tau gue tentang perasaannya ke Buduk. Melainkan, gue hanya bermain logika. Yaa secara, Lisa itu wajahnya cantik kayak Luna Manyun, bodynya ga beda jauh dengan Christina Gagulera, hatinya baik bagaikan bidadari berbulu domba, anak Pak Lurah pula, hmm pokoknya Lisa terlihat sangat sempurna deh. Sedangkan Buduk, tampang pas-pasan, kerjaan ngablu, yah walaupun dia jago memetik gitar, emang  Lisa mau dikasih makan pake gitar?! Hahaha. Kalau seandainya si Buduk ternyata berjodoh dengan Lisa dan pada akhirnya mereka menikah; sumpah, gue bakal bikin cerpen dengan judul “Si Buruk Rupa yang Beruntung” hahaha piece duk. :p
           
            Udah-udah ! Kok jadi nyeritain Buduk dan Lisa. Ga penting juga mereka jadi atau engga. Mau ga jadi syukur, kalau jadi na’udzubillah, hahaha.  Sekarang mending kita balik ke benang merah !
           
            Saat itu, sedang liburan sekolah. Mungkin bagi kalian, liburan sekolah merupakan momentum yang sangat cocok untuk berekreasi dengan keluarga dan teman-teman. Kalian dapat merefresh otak, bersenang-senang, dan melepaskan semua beban dengan berbagai wahana hiburan yang tersedia. Gue sebenarnya juga ingin kayak kalian yang dapat menikmati liburan dengan agenda yang menyenangkan. Namun apa boleh buat, gue hanya anak seorang pedagang nasi uduk yang tidak boleh membebani orangtua dengan sesuatu yang memberatkan. Hingga akhirnya, pada liburan kali ini; gue dengan teman senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan; yakni, Miftah Awaludin Asafari memutuskan untuk menjadi pengamen.
           
            Kita janjian untuk berangkat ngamen jam 7 tepat. Gue yang nyamper Miftah ke rumahnya, dan langsung capcus !

“Mif, gue yang ke rumah lo ni?” Tanya gue.
“Yaiyalah, lo yang ke rumah gue, kan kita ngamennya di komplek elit  deket rumah gue !” Jawabnya sedikit membentak.
“Yowis, besok gue ke rumah lo, abis itu langsung tancap !” Ucap gue diiringi dengan semangat.

            Keesokan harinya, gue nyamper Miftah, Motor gue tinggal di rumahnya, dan kita menelusuri komplek dengan berjalan kaki. Syukur alhamdulillah, Atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan keinginan luhur, akhirnya rumah pertama yang kita singgahi memberi uang; walaupun cuma 500 perak.

“Ahhh, pelit bener tuh orang ! Rumah tingkat 3, ngasih  cuma gope. Apa-apaan ini?!” Gerutu gue karena kesel.
“Inilah yang disebut nyari duit Tar, butuh pengorbanan.” Ujar Miftah.
“Iye iye.” Mengangguk 3 kali.

            Satu persatu rumah kelas elit kita kunjungi dengan lantunan nada indah. Namun, tak satu pun di antara mereka yang rela mengikhlaskan uang seratus ribuan merah untuk dinafkahkan kepada kita. (yaiyalah bego ! Mana ada orang ngamen dikasih Rp. 100.000, kalau lo mau uang segitu dengan sekejap, kaga usah ngamen. Mending lo ngepet atau ternak tuyul aja sekalian. Hahahaha).
           
            Matahari telah meninggi, pori-pori kulit kian terbuka lebar, dan hasrat untuk mengistirahatkan tubuh tak terbedung lagi. Sehingga, kami memutuskan untuk Sholat Zhuhur dan beristirahat di Musholah sembari makan, minum di dalamnya.

“Mif, mending sekarang kita istirahat ! Kalau kepanasan terus kayak gini, bisa-bisa kulit gue yang mulus kayak kulit bayi, nanti angus hahahaha.” Ujar gue.
‘Hah? *shock, Iya bener banget tuh, kulit lo kayak kulit bayi. Tapi kulit bayi biawak, hahahahaha” Miftah tertawa ternahak-bahak.
“ehhhbuseh, lo tuh kayak kulit landak ! hahaha, yaudah kita sholat dulu abis itu makan deh.” Tukas gue sambil merangkul Miftah.

            Setelah istirahat, kami langsung melanjutkan perjalanan kembali. Terik matahari yang menyengat, tak menyurutkan semangat kami untuk terus mencari picisan dan lembaran uang demi terpenuhinya kebutuhan hidup.

            Di perjalanan, Miftah melihat suatu warung yang di dalamnya ada seorang berambut panjang dengan memakai kebaya layaknya seorang gadis desa nan lugu. Sehingga tanpa berbasa basi lagi, Miftah ngajak gue ke warung itu; hanya untuk sekedar modus.

“Tar... Tar.... Lu liat deh di warung depan sana !” Tukas Miftah sambil nunjuk ke depan.
“Ada apaan si?” Tengok penasaran.
“ada cewek; kayaknya cantik tuh, ke sana yuk !” Ajak Miftah.
“Yaelah, males ah, ngejar setoran ni !” Pungkas gue.
“Sebentar doang Tar, kita pura-pura ngeteh aja di sana.” Jawab Miftah.

            Dengan sangat terpaksa gue harus memenuhi keinginan Miftah. Sebenarnya, gue udah punya firasat buruk tentang semua ini. Kenapa? Karena gue mikir, kok cewek badannya tinggi besar kayak petinju kelas berat. Udah gitu, ngapain juga cewek desa yang cantik dan lugu nongkrong di warung. Emang kerjaan rumah tuh cewek bisa kelar tanpa ada yang ngerjain? Terus kalau cewek itu nongkrong di warung, gue harus bilang wow gitu?? Hahaha

            Kami berjalan perlahan-lahan dengan pasti untuk menuju warung tersebut. Rasa penasaran gue dan Miftah semakin memuncak ketika sampai di depan warung. Secantik apa si cewek ini? Suaranya pasti lembut, tangannya halus, lemah gemulai bagaikan Syahrini si penyanyi kondang. Dan lo tau? Semua dugaan kita hancur seketika bagai debu yang bertebangan, ketika orang itu menengokan wajahnya. MasayaaAllah, ternyata ia adalah banci prapatan yang suka mangkal di jembatan. Hahaha pantesan aja nongkrongnya di warung. Gue dan Miftah langsung ngibrit, setelah tau ternyata makhluk itu hanyalah sebatang banci yang seprofesi dengan kita, yaitu pengamen. Hahaha

“Ahhh elu, gue bilang juga apa?! Kita ga usah deh pake mampir segala ke warung. Gini nih akibatnya. Makan tuh cewek jadi-jadian ! Inget Mif, misi kita nyari duit, bukan main-main !” Ujar gue dengan marah-marah.
“Iya iya,  sorry Tar.” Jawab Miftah dengan nada yang sendu.
“Udah kita lanjutin lagi ngamennya, tuh rumah pintunya kebuka.” Ajak gue.

            Jreng….jreng…jreng….jreng walau badai menghadang, ingatlah ku kan selalu setia menjagamu, berdua kita lewati jalan yang berliku tajam….

“Maaf bang.” Jawab sang pemilik rumah.

            Sumpah, miris banget kalau udah dimaafin kayak gitu. Kayaknya gue hina banget yaa? Dibilang minta-minta, tapi gue juga merasa menjual suara. Hahaha  sampai-sampai suara udah diobral kaga ada juga yang mau beli. Sib….nasib.

            Apa ini yang disebut mencari uang? Apa ini yang dibilang membanting tulang? Entahlah, sejujurnya gue mendapatkan pelajaran yang sangat berharga pada liburan kali ini. Gue jadi tau hakikat perjuangan mencari uang sesungguhnya. Selain itu, gue juga belajar bagaimana caranya menyelesaikan suatu permasalahan, ketika kita sedang dalam keadaan terdesak. Pokoknya banyak deh, ibrah yang gue dapat dari perjalanan ini.
                                                                                                                             
            Kami pulang dengan membawa uang sebesar Rp. 20.000. Jumlah uang ini, sangat tidak sebanding dengan pengorbanan yang kami lakukan dari pagi sampai sore. But, I don’t care, yang penting hikmah di balik perjalanan ini dapat kami petik dan rasakan dampaknnya dalam kehidupan.
           

            Jadi, mulai sekarang kita harus dapat menghargai besar atau kecilnya uang, dan juga menghargai orang-orang yang memberikan penghidupan kepada kita dengan uang mereka. Entah itu orangtua, kakak, paman, bibi, dan sebagainya. Dengan begitu, pasti keberkahan dan rejeki akan terus mengalir kepada kita, seiring dengan usaha yang kita lakukan.
              

Kamis, 15 November 2012

Galau dan Akhirnya


Oleh : Tara Prayoga

Awal gue terinspirasi nulis pengalaman pribadi ini adalah ketika gue jalan dengan sohib-sohib terbaik gue; Miftah, Hany, en Alvi. Kita berempat emang janjian  jalan untuk nonton film, yang sebenarnya gue dan Miftah ga tertarik sama sekali dengan film itu, tapi apa boleh buat; mau tak mau, kita harus nganterin emak-emak rumpi itu nonton. Hahaha

Petang pun tiba, matahari mulai tak terlihat, tapi gue belum juga mandi buat siap-siap. Haha, emang gue udah bilang ke Hany, gue ga bakal mandi kalau seandainya kita ga jadi nonton. Soalnya gue males, lagian juga dingin. Lo semua pasti mikir kalau gue jorok ya. Engga sama sekali, gue ga jorok! Pliss jangan mikir yang engga-engga tentang gue, gue tuh masih suci. (ngelantur.. hahaha)
Tapi akhirnya gue mandi kok (karena Hany sms, kalau kita jadi nonton, haha). Lepas baju, lepas celana, masuk kamar mandi, dan.............. Lihat sabun, odol, sampo, semuanya  abis. Hadoooh koplak!!! dengan sangat terpaksa gue pakai lagi baju sama celana gue, dan bergegas beli perlengkapan  mandi terlebih dahulu. hmm Oke, pelengkapan mandi sudah ada, sekarang giliran mandi.

“Masih melingkar, perban di jidad di kaki dan tanganku, pake infus hampir mampus, terbaring di ICU” Nyanyi teriak-teriak .
Nyak gue gedor-gedor pintu kamar mandi, “woyyy...!! berisik udah maghrib, lu kaga tau adat yak?”
“yaelah nyak, cuma nyanyi-nyanyi gitu doang, harusnya nyak bangga punya anak berbakat kaya gini” tukas gue.
“kebiasaan lu ya, nyanyi-nyanyi di kamar mandi, nanti kesurupan aja lu” ujar nyak.
“iye-iye, Yoga ga bakal nyanyi lagi di kamar mandi, tapi bakal nyanyi-nyanyi di dalem sumur, biar kaga kedengeran nyak kalau Yoga lagi nyanyi” ujar gue

Setelah mandi, gue langsung pakai baju yang cool abiiiiis dan  minyak wangi pemberian ncing gue, yang kaga nahan dah wanginya. Kalau kata temen-temen gue si wanginya mirip kembang kuburan. Hahaha.

Badan wangi, penampilan oke, dan sekarang gue udah siap untuk capcus...!!
Ambil kunci motor, pakai jaket, keluarin motor dari garasi, siap jalan.....! Tapi  pas mau nyalain motor, tiba-tiba gue denger suara langkah kaki yang membuat gue deg-degan, soalnya mistis banget. Ditambah lagi garasi gue gelap, udah gitu sarang laba-labanya banyak, dan kondisi yang paling bikin gue takut adalah di garasi itu konon bekas pembantaian tentara Belanda. Gimana ga mistis coba. Tapi gue berusaha tenang, sedikit demi sedikit gue menengokan kepala ke belakang, dan lu tau siapa yang melangkah di belakang gue??? Ternyata eh ternyata itu adalah langkah kaki nyokap gue sendiri. Hahaha gue kira apaan.

“Woy, mau kemana lu?” Tanya emak gue.
“Mau jalan mak” jawab gue.
“Orang mah jalan malem minggu, ini malam Jumat, mau ke kuburan lu ya?” ujar emak gue.
“yaelah mak, jaman sekarang mah jalan kaga perlu ngeliat hari. Mau malem minggu kek, malem jumat, atau  malem tahun baru monyet kek, kaga jadi masalah” ujar gue sembari menegaskan.
Nyak gue lanjut sambutan, “yaudah, gue ga peduli lu mau jalan kapan, yang penting lu belanjain dulu ni buat jualan besok” nyuruh sambil bertolak pinggang.

Lo bayangin,  gue udah siap capcus buat nonton, dandanan udeh  ngalahin James Bond yang lagi akting. Eeeh, malah disuruh belanja ke  pasar. Hahaha tapi ga papa, karena gue anak yang berbakti kepada orangtua, akhirnya gue belanja dulu dah.

Selama gue nyetir motor ke pasar, si Hany sama Alvi smsin gue terus. Sebentar-bentar hp getar, sebentar-bentar hp getar, getar kok cuma sebentar. Hahaha makin ngablu aja ni tulisan. Oke singkat cerita, setelah ke pasar, gue dan ketiga makhluk  itu capcus untuk  nonton.

Sesampainya di tempat tujuan, lo tau, ternyata film itu GA ada...!! ngenes banget kan? Kita berempat udah bela-belain dateng, sampai gue juga kena pidato nyak gue di rumah, eeh filmnya malah ga ada.

“Gue bilang juga apa, filmnya itu tayang besok”  pungkas gue
Alvi jawab dengan songong, “gue tuh liat posternya hari ini.”
“Mungkin di Cinema XXI ada kali”  Hany mencoba menenangkan Alvi.
“Udah kita ke Gramedia aja dah” ajak Miftah.

Akhinya kami berempat pergi ke Gramedia. Di Gramedia gue banyak menemukan buku-buku inspiratif dan cocok banget untuk bahan referensi menulis. Nah, tulisan yang sedang kalian baca ini adalah salah satu hasil  inspirasi dari buku yang gue baca di Gramedia lho. J

Setelah asyik menikmati buku-buku yang dapat dibaca gratis, akhirnya kita pulang dengan tangan hampa.

Di jalan pulang, gue selalu kepikiran tentang pembuatan tulisan yang sedang kalian baca. Semangat gue untuk nulis tulisan ini tuh meledak-ledak setelah gue baca buku di Gramedia.

Jadi, sebenarnya di opening ini gue cuma mau ngasih tau asal mula tulisan ini tercipta. Hahaha (sorry udah bikin lo semua muter-muter).

Baiklah, kita lanjutkan cerpen ini ke inti permasalahan...!

Coba apa yang terpikir di benak kalian, ketika membaca judul tulisan ini? Ada yang mau berpendapat? Apa lo kata? Gue galau karena diomelin sama nyak gue gara-gara nyanyi di kamar mandi? Bukan! Gue ga jadi nonton gitu? Bukan juga! Males amat, kan gue udah bilang, gue dan Miftah  ga tertarik sama film itu. What? Gue galau karena ditolak cewek? Sorry boss!!! Ga ada di dalam kamus gue ditolak cewek. *angkat kerah

Jadi apa dong?
Oke-oke gue kasih tau, gue itu galau karena ditikungin. Paham lo semua?! Kalau lo ada yang ga ngerti apa arti ditikungin, pliss jangan cari di KBBI, soalnya sampai bulu ketek lo keluar pohon kaktus juga kaga bakal ketemu. Jadi, maksud ditikungin itu diduain alias diselingkuhin. Hoho.. Coba, gimana perasaan lo, ketika  lagi cinta-cintanya sama seseorang; terus lo tau kalau orang itu bermain di belakang lo. Dan yang lebih parahnya lagi adalah orang itu putusin lo dengan berbagai macam kedustaan yang dibuat-buat. Pasti sakit kan? Rasanya tuh kayak kejatuhan duren dan nancep tepat di uluh hati tau ga!!! *lebay.. hohoho

Tapi ini seriusan lho. Saat gue melewati fase galau ga jelas itu, gue ngerasa patah semangat banget, kayak ga punya tempat untuk bersandar. *nyender aje di batu nisan.. :p

Oke, tanpa berbasabasi lagi, gue mau langsung ke kronologinya... cekidot!!

Sebut saja cewek yang gue maksud itu bernama Inem, dan cowok yang jadi orang ketiga itu Paijo.

Saat gue kuliah, tiba-tiba hp gue getar, ternyata ada sms masuk. Sms itu dari Inem, yang intinya ngajak putus. Tapi dengan bahasa yang halus. Inem bilang, kalau dia mau fokus kerja, dan ga mau diganggu dengan urusan cinta. haha sebenernya itu lagu lama banget yaa. Hallo! Gue ga bego kali, buat apa gue dari kelas 7 SMP sampai kelas 12 SMK  selalu peringkat 1, kalau masih bisa dibegoin dalam masalah kayak gini hahaha. *nyombong

Udah ketauan kok dari status Fbnya Inem. Jadi, gue itu udah curiga sebelumnya. Kok dia nulis status yang agak romantis, tapi dikomen sama orang dengan sindiran untuk cowok lain yang bukan gue. Dan lo tau cowok itu siapa ? dia adalah Paijo dari goa hantu. hahahaha :p

“Kenapa kamu tiba-tiba mutusin aku?” tanya gue penasaran.
Inem jawab, “aku mau fokus kerja dulu, dan suatu saat aku bakal balik lagi ke kamu.”
“kenapa kalau mau fokus kerja, kamu dekat sama Paijo, sampai-sampai punya niat mengunjungi dia di Jombang?” tanya gue.
“Aku cuma mau silaturahim, dan ga lebih. Aku janji bakal balik lagi ke kamu” jawab inem.

Alasan bullshit dan freak itu terlontar dari mulut busuknya si Inem. Dan lo tau, akhirnya Inem dan Paijo sekarang sudah jadian. Hahahaha, emang awalnya gue galau banget. Belajar ga fokus, organisasi kacau, dan mau ngapa-ngapain tuh mager. Kayaknya gue kehilangan semangat, dan males untuk hidup. Tapi, lo tau? Gue kembali bangkit, setelah gue dapat pengarahan dan pencerahan dari beberapa teman terbaik gue. Terutama Miftah, Hany, dan Alvi.

Mereka memang janji untuk membuat gue move on. Mungkin karena mereka melihat status gue yang kacau berantakan kayak rumah yang kena angin puting beliung kali ya. Jadi mereka inisiatif untuk itu.

“Tar, ngumpul yuk, mau move on kaga lo?” ajak Miftah.
Gue jawab, “ngumpul dimana?”
“di rumah gue, bareng si Hany ama Alvi.” Tukas Miftah sambil mukul pundak gue.
“yaudah jam berapa?”
“Jam 7 malem.” jawab Miftah.
“sipp.” Tangan gue mengacungkan jempol.
Senja menghilang, petang tiba. Jam menunjukan pukul 19.30 WIB. Biasa, kalau kita ngumpul, pasti gue yang selalu datang telat. Hahaha, maklumlah orang sibuk. Banyak urusan, mau berangkat aja nandatanganin surat-surat dulu. (tagihan utang. Hoho :D)

Gue telat 1 jam. Sampai-sampai makanan udah tinggal bekas-bekasnya. Mereka udah pada pesta, gue baru datang.

“Assalammu’alaikum” datang dengan sapa.
“Wa’alaikumussalam” jawab serentak.
“Mr Galau datang, hahahaha” Hany Meledek.
“ah elu, temen lagi galau kayak gini malah diledekin, tega lo yaa? Mif, bikinin gue makanan!!” Gue kesel.
“galau-galau laper juga lo!!” saut Miftah.
“yaelah, masa lo pada makan spageti, gue cuma dapet ampas-ampasnya?” Ujar gue.
“iye iye gue bikinin” Miftah masuk ke dalam dan membuat makanan buat gue.

Setelah makan, gue langsung ceritain semua permasalahan dari awal hingga akhir. Mereka memang sohib yang paling mengerti perasaan gue. Mereka berkali-kali meyakinkan gue, kalau Inem itu ga pantes buat gue. Terlebih Miftah, rumus yang dia kasih, mujur banget.

“udah si Tar, lo tuh pinter, masih banyak cewek yang mau sama lo” tukas Alvi
“bener tuh Tar.” Hany menambahkan.
“Tapi gue tuh masih mikirin terus gan, gue juga ga tau kenapa bisa segalau ini.”
“coba lo makan cokelat deh, cokelat tuh bisa menghilangkan galau tau” Jelas Hany.
“Sherina lu??”. Tanya gue.
“iya serius gue. Apalagi kalau makan cokelatnya bareng-bareng, dan lo nraktir kita, 100% galau lo ilang dah, hahaha.” Hany ngomong kayak ga punya dosa.
“ahh parah lo, temen lagi kayak gini, masih juga diporotin.” Pungkas gue sembari cemberut.
Miftah menambahkan, “nih Tar, gue kasih rumus ya, supaya lo bisa lupain Inem.”
“rumus apaan?” Tanya gue.
“Lo inget-inget keburukan-keburukan Inem dan lo harus lupain masa-masa indah lo bersamanya” tegas Miftah sambil mukul paha  gue.
“benar tuh Tar.” Hany mengiyakan.
“wah, benar juga bro, gue bakal coba, tapi kalau gue lagi ngumpul sama kalian, galau itu kayak ngilang gitu tau. Eeh pas sampai rumah gue kepikiran lagi.” Jelas gue
“yaaa, kan gue bilang kalau lo kepikiran, lo harus palingkan pikiran lo itu, ke rumus tadi. Paham lo?!” Tukas Miftah.
“iya gue paham.” Sambil mengangguk 3 kali.

Gue langsung menerapkan rumus yang dianjurkan oleh 3 makhluk itu. Dan akhirnya  gue bisa kembali move on. Yah, hanya membutuhkan waktu 2 minggu kok. Hingga ending dari semua ini ialah gue dapat pendamping yang jauh lebih baik dari Inem. Thanks God.... J

Thanks Miftah, Hany, and Alvi…

Kalian udah bikin gue move on.. dari kalian gue belajar arti pertemanan yang sesungguhnya. Ternyata teman memang penenang jiwa yang paling ampuh. Gue ga akan pernah menyia-nyiakan keberadaan kalian. Sekali lagi terimakasih. J


CATATAN :

Cerpen ini hanya fiktif belaka. Gue mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada di antara kalian yang mengalami kejadian serupa. Atau memiliki kesamaan peran dalam cerita ini.

Gue hanya ingin menuangkan kreasi dalam bentuk cerpen dan ga lebih. Walaupun ini adalah pengalaman pribadi , tapi sebenarnya cerpen ini gue lebih-lebihkan. Terutama pada percakapan gue dan Nyak. Hahahaha percakapan itu memang pernah terjadi, tapi ga pakai bahasa yang seperti tertulis dalam cerpen lho.

Namun, tetap saja esensi cerita dari pengalaman peribadi gue ini, sama sekali ga berkurang.

Gue rasa kalian dapat menerjemahkan maksud dari catatan ini..