Merenda mimpi menjadi kenyataan adalah obsesi setiap insan yang
bernyawa. Berbagai usaha pasti dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut.
Meski peluh mengering dan raga tak lagi menunjukan ketegarannya, hal
itu justru menjadi rintangan yang mewaranai perjalanan dalam meraih
impian. Pada saat gue merasa kalau tampang dan suara ini dapat menjual
di pasaran. Dari pasar bukit, rumput, hingga pasar minggu. Yah, gue
memberanikan diri aja membentuk sebongkah Boyband. Eeh, sebongkah, emang
es batu. Sekalian aja seekor, biar kayak binatang ternak. Hahaha
Keberanian itu, semata-mata hanyalah untuk meraih impian.
Impian menjadi boyband terkenal yang banyak digandrungi cewek-cewek.
Walaupun sebenarnya gue ilfil banget sama boyband gue sendiri. Gimana
ga ilfil coba? Suara mending pas-pasan, masih ada yang bisa dijual. Lah
ini, bukannya pas-pasan lagi tapi kurang, kuraaaaaang bangeeeeeet. Udah
gitu di antara kita ga ada yang bisa nari. Yah, meskipun sebenarnya gue
suka geli sendiri sih kalau nonton boyband yang narinya kayak cacing
kepanasan. Bahkan tariannya itu terkesan mirip semi cowok yang suka
nongkrong di taman lawang. Idih !
Westlept. Boyband ini kami namakan. Sumpah, tuh nama ga
ngejual banget. bacanya aja susah. Apalagi diinget. Artinya apa coba?
Lo ga tau kan? Sama gue juga ga tau. Kalau emang mau nyama-nyamain
Westlife dari sisi nama, ihh ga banget ! Gue sebagai penggemar fanatik
Westlife sama sekali ga rela kalau Westlife harus dimirip-miripin sama
boyband aneh ini. Mungkin kalau Westlife tau, nama Boyband mereka
dimirip-miripin sama lima pemuda ga tau diri ini, mereka pasti langsung
ngelaporin kita ke komnas HAM. Lho kok? Udah lo ga usah mikirin kenapa
ke Komnas HAM. Yang jelas gue juga ga tau kalau melanggar hak cipta itu
ngelaporinnya kemana, jadi gue asal aja nyebut-nyebut Komnas HAM. Hahaha
Westlept digawangi oleh lima pemuda, yakni : Fandi
Permana, Dimas Pandu Kusuma, Arif Satria, Miftah Awaludin, dan Tara
Prayoga. Berdiri pada tanggal 10 April 2011 karena kecelakaan. Kok
kecelakaan, Tar? Oke gue ceritain kronologinya. Once upon a time,
kami berlima sedang berjalan di suatu tempat. Awalnya sih, pengen ke
rumah Miftah untuk sekedar nyantai sembari ngisi waktu liburan sekolah
aja. Tapi, kondisi saat itu ga memungkinkan banget, soalnya hujan
deras. Sehingga membuat kami berlari layaknya lima pemuda maho yang lagi
kejar-kejaran kayak film India. Perjalanan pun terhenti seiring dengan
hujan deras yang turun. Hingga akhirnya, kami berusaha mencari tempat
berteduh untuk berlindung dari hujan yang membasahi bumi.
Di samping tempat peneduhan, terlihat pesta resepsi
pernikahan yang cukup meriah. Tamu-tamu dengan seragam batiknya seolah
mencerminkan kemegahan pesta resepsi tersebut. Sempat terpikir di benak
gue. Kapan yaa gue bisa melangsungkan resepsi pernikahan kayak gini?
Duduk di kursi pelaminan bak sepasang kekasih yang diselimuti
kebahagiaan. Mpok Riri oh Mpok Riri, ingin rasanya, ku segera melamarmu.
Melangsungkan akad dan membina rumah tangga yang sakinah, mawadah, wa
rahmah bersamamu. Plaaaaaaaaak... Tangan Miftah melayang di kepala gue.
“Woy, Bengong aja !!! kesambet lo nanti!” Ujar Miftah.
Kurang asem tuh bocah. Kagak bisa liat temennya seneng
sedikit. Padahal kan gue lagi asyik mengkhayal. Malah dikacauin khayalan
gue. Susah lagi kan dapetin tastenya. Emang tuh bocah kagak
tau diuntung. Kalau tau bakal begini mending gue mengkhayal di atas
genteng. Aman dan ga ada yang ganggu. Paling resikonya cuma dua. Kalau
ga jatuh, ya kesamber geledek. Tapi mungkin itu lebih baik daripada
diganggu sama temen yang enggak mahamin perasaan gue sama sekali.
Lagian mana mungkin gue kesambet. Setan juga lagi pada
neduh kali. Orang hujannya dateng keroyokan. Udah gitu petir ga ada
henti-hentinya bersuara. Setan juga mikir-mikir bro ! Mau keluar bagaimana? Apalagi sampai bikin orang kesambet. Ga mungkin banget kan? Dasar bocah keplek !
Kalau seandainya tuh setan nongol. Sebelum dia bikin gue
kesambet, gue ajak duluan tuh setan ngopi sembari makan pisang goreng
bikinan Nyak. Sumpah, gue ga takut. Jangankan setan, bapak moyangnya
setan aja pernah gue ajak main karambol. Masa setan ecek-ecek mau bikin
gue kesambet. Mending tuh setan les dulu dah di bimbingan belajar
persetanan. Supaya bisa bikin gue kesambet. Hahaha
Berbicara masalah setan. Pernah suatu ketika gue dan
Idham berjalan melintasi pemakaman. Di pemakaman itu, bukannya gue
takut, malah geli. Pliss, lo jangan berpikir hal bodoh. Gelinya gue
bukan karena setan ngelitikin gue. Dan itu ga mungkin terjadi. Soalnya
selama gue melihat perkuliahan setan, ga ada tuh mata kuliah mereka yang
ngajarin bagaimana cara ngelitikin manusia. Jadi lo geli kenapa, Tar?
Oke gue kasih tau. Gue geli karena Idham meluk gue sepanjang jalan
pemakaman karena ketakutan. Sumpah, kali ini gue merasa ada titik
singgung yang sangat signifikan saat Idham meluk gue. Titik singgung itu
benar-benar organ yang sakral banget yang dimiliki setiap manusia
normal. Dan gue yakin pasti lo tau apa yang gue maksud.
Setelah melewati pemakaman. Idham melepaskan pelukannya
dari perut gue semabari bercerita. Katanya, tadi pas di pemakaman dia
melihat pocong. Pocong itu loncat-loncat hingga membuatnya ketakutan.
Hahahaha, kalau dia melihat pocong ketakutan, gue sih engga. Yaa secara,
pocong tuh sebenarnya spesies setan yang paling lucu dan imut. Gimana
engga? Tuh setan dibungkus kain kafan, di atas kepalanya ada yang
menjulang kayak konde Nyak yang dipake setiap kondangan. Udah gitu
loncat-loncat lagi. Yaelah, itu kan setan imut banget. Bahkan lebih imut
dari boneka berbi yang suka dimainin bocah ingusan. Masa lo takut.
Bener-bener ga rasional.
*****
Singkat cerita, saat kami berteduh di dekat resepsi
pernikahan tersebut. Datanglah seorang wanita ke tempat dimana kami
berpijak. Entah hajat wanita itu apa. Yang jelas, awalnya gue mikir tuh
cewek cuma pengen ikutan neduh. Tapi, kalau dia ikutan neduh lapaknya
dimana. Gue aja udah sempit-sempitan sama empat pemuda ga tau diri ini.
“Mas...mas...” Panggil wanita itu lantang.
“Ada apa Mba?” Tanya gue.
“Maaf, saya mau minta tolong. Saya dari grup musik Besok Bubar yang
harus manggung di acara resepsi pernikahan ini. Namun, kami sedang
menghadapi kendala. Vokalis kami yang berjumlah lima orang tiba-tiba
mendadak ga bisa datang. Kalian bisa menggantikan?” Pinta Wanita cantik
itu dengan senyum merekah di wajahnya yang panik.
Kami tengok-tengokan satu sama lain dengan wajah bingung.
Antara terima atau tidak tawaran tersebut. Kalaupun kami terima, modal
nekadlah yang akan membias di sanubari kami. Namun, jika kami
menolaknya, maka kami termasuk orang yang tidak berperikemanusiaan.
Orang udah minta tolong malah diabaikan.
Kami pun segera berembuk. Perembukan itu menghasilkan
keputusan, bahwa kami siap menggantikan lima vokalis tak
bertanggungjawab itu untuk bernyanyi layaknya boyband dadakan yang ga
sadar akan kemampuan diri.
Sorak ramai suara penonton kian membias dalam resepsi
megah yang didatangi beberapa tamu penting itu. Lurah, Camat, Walikota
yang turut dalam acara tersebut, sungguh membuat gue dan empat makhluk
ini gerogi setengah mampus.
“Kk-kita nn-nyanyi aa-apaan, Mba?” Tanya gue gugup.
“Nyanyi lagu Westlife yang My Love ya !” Tuturnya tegas.
Wah, gue seneng banget pas Mba cantik itu bilang kalau
kita bakal nyanyi lagu My Love. Selain menguasai, kami juga menyukai
lagu itu.
“Fan, Lo Nyanyi di Intro awal yaa. Gue di Intro kedua. Dimas di
bagian coda. Nah, si Arif dan Miftah biar jadi suara dua pas di reff.”
Atur gue sok tau.
“Yaudah, atur ajalah.” Jawab Fandi.
Perlahan gue tarik nafas dalam-dalam. Meski keringat
mulai membasahi kening, hal itu tak membuat gue dan empat makhluk yang
sekarang ada di samping gue ini mundur. Saat sang MC memanggil kami
untuk naik ke atas panggung, jantung mulai berdetak cepat. Rasa gerogi
pun kian menjadi. Tak dapat dipungkiri, sekarang hanyalah modal nekad
yang terpatri. Terkadang menanggalkan esensi kemampuan diri di saat
seperti ini memang diperlukan. Suara, tampang, dan penampilan pas-pasan
yang sekarang terpampang di hadapan tamu undangan resepsi, kian menebar
pesona keplek bin seglek. Entah mengapa, rasanya gue ingin semua ini
cepat berakhir.
Di atas panggung resepsi pernikanan inilah, pertama kali
kami menunjukan kebolehan di dunia tarik suara. Ga terlalu sulit kok.
Soalnya sebelum kecelakaan ini terjadi, kami sudah sering main
tarik-tarikan. Mulai dari tarik tambang, tarik gangsing, hingga main
tarik ulur layangan. Semua itu tentu berbeda dengan tarik suara. Dan
hanya manusia tolol bin seglek aja yang menganggapnya sama. hahahaha
“So I say a little prayer and hope my dreams will take me there. Where the sky are blue to see once again My Love.....” Lagu kami lantunkan dengan indah.
Abis lirik lagu ini, giliran gue yang nyanyi. Mampusssss ! gue lupa liriknya.
“I try to read I go to work....” Nyanyi gue kepotong.
Suara indah gue terhenti di lirik ini. Gue lupa apalagi
terusannya. Dan saat itulah gue terdiam seribu bahasa. Kegagapan
bernyanyi pun mulai membias di pita suara yang gue punya. Untungnya si
Arif yang kadang-kadang keplek ini, pinternya lagi dateng. Sehingga dia
yang meneruskan lirik lagu yang harusnya itu bagian gue.
Kelupaan gue pada saat nyanyi di intro kedua, membuat
gue semakin gerogi di atas panggung. Namun, gerogi tersebut seolah
sirna saat salah seorang penonton ada yang melempar bunga mawar merah
tepat di hadapan gue. Tanpa kompromi, gue pun langsung mengambil bunga
tersebut. Entah, siapa itu yang melempar. Gue juga ga tau. Harapan gue
sih cewek cantik yang dia juga penggemar rahasia gue.. hehehehe
Setelah manggung, kami pun keluar dari acara resepsi
pernikahan tersebut. Namun, saat kami keluar, ada suara lantang yang tak
asing lagi didengar. Iya, wanita cantik yang juga bagian dari personil
Besok Bubar itu memanggil kami kembali.
“Mas...!” Panggil sang wanita.
Kami menoleh ke belakang, “ada apa lagi, Mba.” Jawab Dimas.
“Terimakasih ya mas. Kalau ga ada mas mungkin kami ga jadi manggung di acara resepsi pernikahan ini.” Ucapnya menghargai.
“Ah, memang kan sebagai makhluk sosial kita harus saling menolong, Mba.” Tukas Dimas.
“Benar tuh, Mba.” Jawab kami serentak.
“Oh ya, nih ada rezeki sedikit buat kalian. Jangan dinilai besarnya. Dan maaf kami cuma bisa ngasih segini.”
“Ahh, ga perlu repot-repot Mba. Kita ikhlas kok.” Pungkas Arif menolak.
Bloon banget tuh bocah. Udah tau kita lagi butuh duit
buat ongkos ke rumah Miftah. Pake segala ditolak. Ikhlas juga pada
tempatnya bro. Lo mau jalan kaki?! Gue sih ogah ! Plis deh, berpikir realistis dan rasional. Jangan keseglekan mulu yang dikedepankan.
“Jangan dengerin teman saya Mba. Kita terima pemberian Mba ini. Kalau masih mau pake kami calling aja ya, Mba.” Ujar gue sembari senyum simpul dan menarik uang yang dipegang Mba cantik itu.
Setelah dialog itu selesai. Kami sesegera mungkin
beranjak dari tempat resepsi tersebut. Dengan mengantongi bekal uang
yang diberikan Mba cantik itu, kami pun kembali fokus ke tujuan semula.
Yakni, ngumpul di rumah Miftah. Di perjalanan, kami sampat mendiskusikan
masalah kejadian tadi.
“Sumpah, gue ga nyangka bakal kayak gini.” Tukas Arif
“Ya, sama. Semua juga ga bakal mengira ini semua terjadi. Namun,
inilah takdir Ilahi yang pasti dan kudu kita syukuri.” Jawab gue wibawa.
“Bener tuh kata Tara.” Dimas menambahkan.
“Bagaimana kalau kita membentuk boyband. Pasti seru.” Pungkas Arif sambil mengajak.
“Boleh tuh.” Ucap gue mengiyakan.
“Tapi apa ya nama boybandnya?” Tanya Miftah.
“Westlept !” Jawab Pandi nyeletuk.
“Wah Keren..” Jawab Arif.
Padahal keren dimananya yak? Gue sih ilfil dengernya.
Selain gue ga suka karena meniru Westlife dari sisi nama, gue juga
mikir. Tuh nama apa maksud coba? Kan biasanya kalau orang bikin band,
pasti ada filosofinya dan ga asal namain. Misalnya : Dewa19 yang diambil
dari anonim personilnya (Dhani, Erwin, Wawan, Ari, Andra) dan 19nya itu
adalah rata-rata umur mereka saat membentuk band. Ada lagi ADA Band
yang bermakna kalau mereka ingin selalu ada untuk seluruh penggemarnya
di penjuru dunia. Liat kan, semuanya pasti ada makna tersirat dari
sebuah nama. Ini apaan? Westlept ! Ga ada bergainingnya banget sih !
Namun, karena sistim demokrasi yang diterapkan. Mau ga
mau, gue yang paling cerdas sendiri, sementara empat makhluk lainnya
epleng. Yah, akhirnya disetujuilah Westlept sebagai nama boyband serba
kekurangan ini.
Setelah disetujui, Westlept pun mulai menunjukan
taringnya. Kami berkali-kali mengisi acara di panggung lokal. Dari acara
tahun baruan, perpisahan sekolah, hingga resepsi pernikahan. Sejak
itulah nama Weslept mulai familiar di Pamulang dan sekitarnya. Selain
itu, kami juga pernah masuk dapur rekaman. Sejauh ini, kami sudah
merekam empat lagu dalam bentuk mp3. Yah, walaupun lagunya itu hanya
aransmen ulang dari lagu Westlife. Yakni lagu : My Love, What About Now, Swear it Again, dan I Lay My Love on You.
Perjalanan grup tak semulus yang diharapkan. Pada awal
2012, kami sudah mulai fakum dan jarang latihan. Hal ini terjadi karena
kesibukan masing-masing personil. Fandi sudah mulai sibuk dengan
aktifitas kuliahnya. Gue, Dimas, dan Miftah yang saat itu masih duduk di
kelas 12 pun mulai disibukan dengan persiapan menjelang Ujian Nasional.
Sementara Arif sibuk dengan bandnya.
Sulitnya mencari waktu untuk latihan, menyebabkan
eksistensi Westlept kembali dipertanyakan. Apakah boyband ini masih ada
atau tidak? Entah fakum atau bubar. Yang jelas untuk saat ini Westlept
seperti hilang ditelan bumi. Dan mulai menanggalkan sejarah yang menjadi
sebab kehadirannya.
Senin, 31 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
Boyband Miskin, si Botak, dan Polisi Seglek
Ayam mengaung, burung berkokok, dan harimau berkicau. Sang surya pun mulai
menampakan sinar keindahan. Sementara gue masih setia dengan dekapan selimut
berbulu domba kesayangan yang udah ga dicuci selama berabad-abad. Sebenarnya
gue udah minta Nyak memasukan selimut pusaka tersebut ke laundry, tapi ga pernah dipenuhi. Sorry bos, kalau lo menjudge
gue sebagai anak yang malas karena ga mau mencuci sendiri, itu salah besar.
Kenapa? Karena gue itu anak yang rajin, baik hati, dan tidak sombong. Mau
bukti? Kemarin gue berangkat kuliah menggunakan angkutan umum. Bukan karena si
jagur alias motor gue itu sakit, melainkan karena mpok Riri tetangga tercantik
gue meminjam si jagur . Emang agak berat sih. Apalagi macetnya perjalanan
dengan angkutan umum itu amit-amit banget. Mana ketemu banci prapatan. Mirip
lagi sama banci yang pernah gue dan Miftah liat pas ngamen. Hedeh.. Tapi apa
sih yang engga buat mpok Riri? Hehehe. Kalau boleh jujur, gue sebenarnya naksir
berat sama mpok Riri. Gile bro, dia
itu cuaaantik banget, bodynye demplon pula. Luna Maya lewat
deh. Terlebih mpok Riri baiknya minta ampun. Gue sering diajarin cara menulis
sama dia. Yah, berhubung nulis itu hobi gue. Jadi, kebetulan banget mpok Riri
yang katanya penulis ini bersedia ngajarin.
Terserah lo deh. Mau
nganggep gue modus kek, nyari kesempatan dalam kesempitan, atau apalah. Gue ga
peduli. Yang penting gue udah berbuat baik untuk mpok Riri yang selalu ada di
hati ini. Jadi, terbukti kan kalau gue itu baik dan tidak sombong? Silakan
jawab dengan jujur !
So, sebenarnya gue ga mau
nyuci selimut itu, karena dilarang Nyak gue sendiri. Katanya sih, itu selimut
sakti yang kalau seandainya dicuci bisa hilang kesaktiannya. Bingung kan lo?
Gue juga bingung. Kenapa di era globalisasi ini masih ada yang percaya begituan? Lagian juga gue ga
yakin kalau itu selimut sakti. Sakti dimananya? Kalau sakti pasti mpok Riri
udah jadi cewek gue sekarang. Lho kok? Oke gua kasih bocoran. Jadi, pas pertama
kali Nyak ngasih tau itu adalah selimut sakti. Saban hari gue selalu berharap
kesaktian selimut itu dapat menular. Semua keinginan dapat terpenuhi dan mpok Riri bisa
klepek-klepek di hadapan gue. Namun, sayang seribu sayang. Bukannya mpok Riri
yang gue dapet, malah cuma bau bangsat yang selalu tercium setiap malam di
hidung gue. Selimut itu justru menjadi bala saat ritual tidur sedang
berlangsung. Hohoho
Yowis, sekarang anggaplah
selimut yang sekarang lagi mendekap tubuh gue
ini sebagai bala. Meskipun sesungguhnya gue udah terlanjur sayang sama
nih selimut. Karena walaupun baunya seperti kentut monyet, selimut ini
merupakan salah satu peninggalan mendiang kakek gue. Jadi, wajarlah kalau sangat
berarti buat gue.
Waktu pun terus bergulir,
hingga siang hari gue belum juga bangun. Padahal Nyak udah ngoceh-ngoceh bangunin gue. Emang
somplak banget gue jadi anak. Hahaha bukannya bangun malah tambah beler.
Kesabaran Nyak juga ada batasnya. Yah, walaupun kejadian ini hampir terus
terulang tiap harinya, gue sebagai anak yang keplek, kaga pernah sadar. Hahaha
dan lo tau? Nyak itu selalu menyiram gue dengan air bekas cucian beras yang
udah diendepin selama setahun. Gila ga tuh? Yah, tapi gue sih terima-terima
aja. Salah gue juga kok.
“Biyuuuuurrr.” Air cucian beras membasahi badan gue.
“Lo jadi anak ga tau diuntung ! Tidur ampe tengah hari, mau jadi apa lo? Gerutu
Nyak campur marah.
Nyak kayaknya udah sering
gue kasih tau deh. Kalau gue pengen jadi penulis. Masih juga nanya. Nyak
pura-pura ga tau atau lupa sih? Gue tuh
suka kesel. Habisnya kalau marah selalu ngeluarin pertanyaan “Mau jadi apa
lo?”. Kan capek dengernya. Apa perlu gue tempelin di kamar spanduk ukuran 3x2
meter dengan tulisan “Gue Pengen Jadi Penulis !” ? Biar setiap Nyak marah, ga
pake nanya kayak gitu lagi.
“Iya Nyak, Yoga bangun.” Dengan
muka setengah sepet.
“Cepetan bangun, rejeki lo dimakan ayam nanti !”
Setau gue, ayam makanannya
itu beras kalau engga pur. Kenapa Nyak sekarang pake ngada-ngada? Rejeki guelah
dimakan ayam. Emang tuh ayam keabisan makanan apa? Segala jatah gue diembat. Gue tau Nyak lagi
marah, tapi ga usah pake bohong bisa
kali. Udah tau otak gue pinternya ga ketulungan. Ga bakal bisalah dibohongin.
Kesetiaan gue dengan selimut
sakti pada pagi itu pun terpaksa harus tergadaikan. Gue mesti bangun, mandi, dan menjalankan aktivitas
lainnya.
Sebetulnya pada hari itu
gue punya janji dengan Idham dan Ihsan. Yaitu
perjanjian untuk pergi ke tempat saudara gue yang sedang melaksanakan
resepsi pernikahan. Jujur, sebenarnya gue males banget pergi sama dua makhluk
itu. Kenapa ? Karena mereka tuh sering malu-maluin kalau diajak jalan. Pada
jaman purbakala, kami pernah berkunjung
ke mall. Ehhh, dua makhluk itu ga sopan banget dan bertindak tanpa etika kayak
orang yang kaga pernah makan bangku sekolahan. Sumpah, gua malu banget
bawa-bawa mereka ke mall. Masa mereka ke mall ga lepas sendal. Padahal kan
lantai mall udah bersih bercampur kinclong. Eh, malah dikotorin dengan alas
kaki mereka. Gue yang justru terlihat pintar bin keren karena melepas alas kaki
di mall, malah diomel-omelin sama dua
makhluk oon itu. Hadoh, emang dasar tuh bocah bego banget.
***
Setelah mandi, gue
menunggu mereka di rumah. Seperti biasa, mereka tuh selalu ngaret. Dan gue
bener-bener bosen liatnya.
Penantian pun berakhir,
saat dua makhluk itu tersenyum lebar sambil berjalan layaknya maho permanen
yang sedang dilanda asmara.
“Lama lo !” tukas gue kesal.
“Yaelah, jalanan macet, Tar.” Jawab Idham beralasan.
Pliss deh, kalau beralasan
yang rasional dikit kek biar ga ketauan begonya. Udah tau mereka jalan kaki,
macet dimananya? Kalau jalan kaki aja macet, apalagi naik kendaraan. Apa si
komo udah alih profesi? Yang tadinya bikin macet motor dan mobil, sekarang
bikin macet pejalan kaki. Atau mungkin si Komo diPHK dari kerjaan sebelumnya?
Terus dia sekarang diterima di perusahaan mana? Kok tuh perusahaan kurang
kerjaan banget sih, pake segala bergerak di bidang kemacetan. Ya Allah, kenapa dua
makhluk ini ga logis banget?
“Ya udah, gue keluarin si jagur dulu. Abis itu kita langsung capcus !” Ujar
gue
“sipp.” Mereka saling menempelkan jempol satu sama lain.
Kadang-kadang gue suka
geli sendiri liat kelakuan mereka. Apa coba maksudnya bertempelan jempol?
Kompak sih kompak. Tapi ga gitu juga kali. Kayak orang lagi nyatuin kekuatan
aja lo ! Atau mau jadi Power Ranger?
Tapi tindakan aneh mereka itu bukannya mirip Power Range¸ melainkan seperti dua pemuda epleng yang sedang keplek
berjamaah. Hahahaha
Jagur pun dikeluarkan.
Dengan motor butut kesayangan gue itu, kami berpetualang mengarungi samudera.
Ehhh, samudera. Hahaha emang motor gue pesawat Jet. Tuh motor dibawa ke sekolah aja suka batuk kayak orang keselek
duren. Mana bisa mengarungi samudera. hahahaha nyalainnya aja ga pake kunci.
Kalau seandainya jagur
bisa ngomong. Mungkin dia bakal bilang “Ampun... Tolong jangan siksa saya.”
Hahaha lo bayangin aja ! Gue 80 kg, Idham 75 kg, dan Ihsan 70 kg. Sedangkan,
jagur ga mungkin dapat mengemban beban sebesar itu. Namun, apa boleh buat?
Jagur harus dapat menerima kenyataan. Dia harus rela ditunggangi oleh tiga
makhluk yang tidak berperikemotoran itu.
Ihsan menyetir motor, gue
di tengah, dan Idham di belakang. Sumpah, demi apa pun, ini adalah posisi yang
paling ga enak bagi gue. Dijepit di antara dua makhluk yang sekarang mungkin
lagi keenakan. Idham keenakan dari depan dan Ihsan keenakan dari belakang.
Entah ini pelecehan seksual atau bukan, yang jelas rasanya gue pengen ngadu ke
kak Seto. Supaya dua makhluk yang udah maksa gue duduk di tengah ini diberi
pelajaran dan dihukum seberat-beratnya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Gue berharap ini terakhir
kalinya gue duduk di tengah. Besok-besok gue harus duduk di depan atau di
belakang. Enak aja, emang lo berdua doang yang pengen enak. Gue juga mau
ngerasain cuy gimana nikmatnya. Uppss, ketauan dah belangnya. Hahaha sorry gan, pernyataan di atas gue tarik kembali. Hihi
Di perjalanan, kami
menghadapi situasi yang sangat berat. Kemacetan yang menyempitkan ruang gerak
dan polusi udara yang menyesakan saluran pernapasan, tak henti-hentinya
menyertai perjalanan kami. Ditambah lagi, si Ihsan sang joki sepeda motor. Nyetirnya
kayak kesetanan. Salip kanan, salip kiri kayak orang kebelet kencing yang nyariin kamar mandi.
Alhasil, jagur pun menabrak motor yang berada tepat di depannya. Dan lo tau?
Motor yang kami tabrak, lampunya pecah dan pengemudi motor Ninja itu pun terjatuh. Begonya lagi, di antara kita ga ada yang
berinisiatif turun dari motor untuk
menolong orang tersebut. Hanya terdiam di atas motor gembel layaknya personil boyband miskin yang lagi ngejar setoran.
Hedeeeh :P
“Gimana nih?” Tanya gue panik.
“Lo tenang aja. Di situasi seperti ini kita harus bisa ngatur formasi
dengan baik.” Tegas Idham.
“Formasi gimana Dham?” Tanya Ihsan.
“Kita turun dari motor bareng-bareng, nanti lo di sebelah kiri, gue kanan,
dan Yoga di tengah.”
“Buat apaan?” Tanya gue penasaran.
“Ya, biar tuh orang takut sama kita. Terus dia ga minta ganti rugi atas
kerusakan motornya.” Ujar Idham.
Kami pun turun dari motor
secara bersamaan. Tanpa berpikir panjang, kami langsung menerapkan formasi yang
telah kami sepakati dalam konferensi jagur jilid 1. Formasinya kayak gini :
Ihsan menghadap ke kiri dengan telunjuk ke atas, Idham hadap ke kanan sambil
nungging dan bibir dimonyongin 5 cm, sedangkan gue, hadap ke depan sembari nopang
dagu dengan kedua tangan sambil ngedip-ngedipin mata. Yang pasti, untuk saat
ini batin gue cuma bisa ngajuin pertanyaan untuk seorang koreografer formasi :
sebenarnya formasi kayak gini biar keliatan serem apa nunjukin kalau lagi
epilepsi sih?
Sumpah, tuh formasi kaga
ada serem-seremnya. Lagian Idham bego banget sih ngerancang formasi. Emang ga
ada yang lebih sereman dikit apa selain nungging, nunjuk ke atas, dan nopang
dagu? Mana ada orang yang takut. Ini sih bukan formasi cowok sejati, tapi
formasi semi cowok yang sekarang banyak dikerubutin cewek-cewek.
“Sekarang kita harus gimana lagi?” Tanya Ihsan.
“Tetep dengan rencana semula, San.” Jawab Idham.
“Woy !! Lo lagi ngapain sih?!! Kayak orang gila lo. Gue ga mau tau. Lo
harus mengganti kerusakan motor gue ini ! Tegas si pengemudi motor yang palanya
botak dan di atas bibirnya dihiasi dengan hutan rimba yang sangat lebat.
Nah, kan, gue bilang juga
apa? Bukan cuma gue doang yang ngerasa kalau formasi ini kayak orang gila. Buktinya si botak juga
bilang begitu. Hmm.. niatnya mau nakut-nakutin malah gue sendiri yang takut.
“Kita kaga mau ganti. Salah lo sendiri yang berhenti mendadak !” Ujar gue
membentak.
“Eh, bocah SMA yang masih cacingan. Kalau lo ga mau ganti gue panggilin
warga supaya lo digebukin. Mau lo?”
Bungkam. Mulut gue
terkatup tanpa kata saat ancaman dari si botak itu dilayangkan kepada kami.
Kami hanya bisa pasrah dengan keadaan. Namun, kepalang. Nasi sudah menjadi
bubur. Pernyataan perang sudah terpaksa kami keluarkan. Maka konsekuensi pun
harus diterima. Meski berat terasa.
Si botak berkumis itu
segera berteriak memanggil warga di sekitar. Gue sebagai pria sejati pantang
banget menyerah walaupun dalam keadaan terdesak. Entahlah, dengan dua makhluk
yang sedang berada di samping gue ini. Pria sejati atau semi pria sejati. Yang
jelas, pada saat itu karena kami satu tim, yah, harus kompak. Mereka memukul
harus dibalas dengan pukulan, tendangan dibalas tendangan. Dan teriakan harus
dibalas teriakan.
“ KABUUUURRR !!” Seru gue lantang.
Setelah babak belur
dihabisi masa, kami pun ditelantarkan begitu saja. Yah, walaupun pada akhirnya
kami berdamai dengan si botak berkumis, hal tersebut sama sekali ga sebanding
dengan babak belur yang kami rasakan. But
no problem, yang penting sekarang kami masih bisa melanjutkan perjalanan ke
tempat yang ingin kami tuju.
Di atas jagur kami
menembus keramangan jalan. Bergerak dengan kecepatan tinggi supaya cepat sampe
ke tempat resepsi saudara gue. Namun, fokus kami terhadap perjalanan kala itu,
seakan terpecah ketika di tengah jalan kami dibuntuti seorang polisi. Kami
harus memacu motor dengan kecepatan penuh seiring sirine motor polisi yang
meraung. Namun, apalah daya, ilmu fisika dan realita kembali bicara. Meski
motor dipacu sekuat apapun, motor butut gue ga akan bisa lari dari kejaran
motor polisi yang elegan dan hebat itu.
“Selamat malam, adik-adik.” Sapa polisi itu.
“Malam pak.” Serentak menjawab dengan senyum terpaksa.
“Bisa tunjukan surat-suratnya?”
“Surat? Kayaknya sekarang udah ga jaman surat-suratan deh pak. Maksud bapak
email kali? Saya kasih tau ya pak. Sekarang itu ada yang lebih cepat daripada
surat. Ada sms, email, dan chating.
Atau kalau bapak pengen yang lebih cepet lagi pake aja facebook atau twitter.
Tinggal buat catatan, tag ke orang-orang
yang dituju, pasti lima menit kemudian dibaca.” Ujar Idham tanpa rasa bersalah
disertai kepolosannya.
Geplak ! Tangan gue
mendarat di kepala tuh bocah. Ga habis pikir gue dengan penjelasan Idham. Di saat
seperti ini masih aja menunjukan kebegoannya di hadapan polisi. Inget bro! Yang ada di depan kita
sekarang itu polisi. Salah ngomong dikit bisa masuk penjara lo. Hmm, emang gini
nih kalau orang begonya dimakan sendiri. Yang ada bukan nyelesaiin masalah,
malah nambah masalah.
“Hmm, gini pak, sebenarnya kita
ga pernah pacaran. Jadi, kami ga punya surat-surat yang bapak minta. Yah, ada
sih, pak, surat
izin ga masuk kelas. Tapi, surat-surat itu kan dibawa sama wali kelas.” Jelas gue
rasional.
Keramahan
polisi itu seketika berubah menjadi garang. Matanya melotot tajam. Mulutnya
terkatup dengan kumis yang bergerak seolah dia ingin memakan kami hidup-hidup.
“Maaf pak, kalau teman-teman saya
rada ga beres. Sebenarnya, surat
itu ada pak. Cuma belum sampai rumah. Jadi, ditunggu aja ya pak. Nanti kalau
sudah sampai rumah bapak saya hubungi. Atau kalau engga, saya minta nope bapak
deh. Supaya gampang hubunginnya.” Tukas Ihsan pede.
“Maksud kalian apa?! Yang saya
tanyakan STNK dan SIM kalian !” Jelasnya garang
“Oh, surat itu. Ngobrol dong pak dari tadi. Saya
kira surat
apaan. Kalau masalah surat
itu, silakan bapak tanyakan ke teman saya saja. Dia yang punya motornya.” Idham
noleh ke gue
Ihsan nimpalin, “Iya pak kita
cuma numpang aja kok.”
Keplek
!! kenapa semua dilimpahin ke gue ?! Mereka sungguh menanggalkan solidaritas
yang telah dibangun selama ini. Giliran susah, gue yang kena. Sial!!! Ini
namanya berat sama dijinjing, ringan sama dipikul.
“Mana STNK dan SIM-nya?” Polisi
itu sekali lagi bertanya.
“Ada di Nyak saya pak.” Gue jawab
terbata-bata.
Mata
polisi tersebut seketika terbelalak, wajahnya memerah, dan dahinya mengerut.
Cuma satu pertanyaan gue, tuh polisi lagi marah atau kebelet boker? Hahaha
“Baik, kalian ditilang.
Pelanggaran kalian fatal ! Tidak bisa menunjukan STNK, SIM, tidak memakai helm,
dan naik motor bertiga.” Ujar sang polisi.
“Tapi pak, kalau motor ini dibawa
berempat ga muat.” Tukas Gue.
“Hah !!” polisi itu melongo.
“Satu pelanggaran lagi. Kalian melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Lihat !”
Polisi itu nunjuk ke rambu-rambu lalu-lintas. “Itu tanda setiap kendaraan dari
laju kiri tidak boleh berbelok.” Jelas polisi itu kemudian.
“Tapi pak, kalau kami ditilang,
berarti bapak juga harus ditilang. Kan
bapak juga belok ke kanan dari lajur kiri.” Protes gue.
“Saya belok karena mengikuti kalian.”
Jelas polisi beralasan.
“Wah wah.” Gue geleng-geleng
kepala. “Seharusnya polisi tegas dong pak, udah tau kami melanggar peraturan
lalu-lintas malah diikutin. Itu ga boleh, pak.” Jelas gue sok menasehati.
“Betul, betul, betul.” Dukung
Idham.
“Ho’ohi, kata Babeh saya juga gitu pak. Sesuatu yang salah ga boleh
diikutin.” Imbuh Ihsan.
Mata
polisi itu mulai menajam laksana sebuah silet yang siap mencukur habis kumis dan jenggot setelah
mendengar penjelasan dari kami.
“Kalian kurang ajar ya ! kalian
ga tau saya siapa?!” Tanya polisi setengah marah.
Ehtah
mengapa setelah polisi itu melontarkan pertanyaan aneh, perasaan iba mulai
muncul di benak gue. Kenapa? Soalnya gue kasian sama tuh polisi. Masa nama
sendiri aja lupa. Nanya lagi ke kita. Sumpah, gue ga habis pikir sama sekali.
“Pak..” Gue nepuk pundak polisi
itu. “Bapak tuh polisi, seorang aparat negara, dan penegak hukum di Indonesia.
Masa bapak lupa nama sendiri. Nama bapak itu Sukirman.” Sambung gue sembari
baca name tag di dada sebelah
kirinya.
“Kalau itu saya tau.” Tegasnya
“Kalau tau ngapain nanya, pak?”
Tukas Idham bertanya.
“Iya pak, ngapain nanya?” Tambah
Ihsan.
“Tilang kalian saya tambah.”
Lanjut polisi itu.
“Ga bisa gitu dong pak ! Kalau
bapak kayak gitu, kami bisa aja ngelaporin
ke atasan bapak. Kalau bapak juga udah melanggar lalu-lintas.” Protes
gue diiringi ancaman.
Polisi
itu bungkam seribu bahasa. Sepertinya rasa takut mulai menyelimuti jiwa dan
raganya. Tampak begitu jelas, polisi itu gugup dan berkeringat dingin saat
mendengar ancaman dari gue.
“Memang kamu tau siapa atasan
saya?” Tanya polisi tersebut.
Gue
senyum simpul sambil gelengin kepala. Perlahan menghelakan nafas panjang guna
menghilangkan kecanggungan terhadap suasana saat itu. Motor gue emang butut, ga
jaman, dan nabrak ayam aja penyok. Namun, polisi itu harus tau satu hal tentang
jati diri gue. Dan memang sudah saatnya jati diri gue dipublish. Agar tuh polisi ga berani nilang dan macem-macem sama
kita.
“Bapak ga tau siapa saya?” Tanya
gue ngetes.
“Hahaha, saya ga peduli kamu
siapa. Yang jelas kamu sudah melanggar banyak peraturan lalu-lintas. Ayo,
kalian harus ikut ke kantor !” Tukasnya.
“Jadi, bapak benar-benar ga tau
siapa saya?” Tanya gue sekali lagi.
Polisi
itu terdiam dan matanya turun naik melihat sekujur tubuh gue. Perlahan gue
menunjukan sikap sewibawa mungkin di depan polisi yang kayaknya udah mulai kegi
denger gertakan gue.
“Ss-benarnya ss-siapa kamu?”
Tanya polisi itu nanar.
Gue
lirik dua temen yang sekarang berada di samping gue. Kembali gue hirup udara dalam-dalam
sebelum gue yakin bakal memberitahu jati diri gue sesungguhnya. Seiring dengan
debar jantung yang berdetak cepat, gue langsung bersimpuh seraya nelangkupin
telapak tangan di depan polisi bermuka garang dan berkumis membentang itu.
“ Ampuuuunn pak !!! Saya cuma
anak tukang nasi uduk. Buat bayaran sekolah aja suka nunggak. Tolong jangan
tilang saya pak. Saya tobat.. bebasin kami pak !!!” Teriak gue histeris sambil
ngerangkul kaki polisi tersebut.
“Saya juga mau tobat, paaaaak.”
Ujar Idham seraya bersimpuh.
“Saya juga ngikut mereka paaaak
!! Saya mau berobaattt ! “ Susul Ihsan
The End
\
Langganan:
Postingan (Atom)