Jumat, 30 November 2012

Pengamen Salah Duga



        Terkadang di dalam hidup, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan. Memilih sesuatu yang tepat memang membutuhkan proses. Proses berpikir, menghayati, dan bersikap bijaksana dengan segala keterbatasan; tentu membuat kita semakin dewasa dan menyadari hakikat kehidupan ini. Yah, apa pun aktivitas yang kita lakukan, ga ada yang hina kok, selama itu tidak melanggar norma-norma dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pilihan gue dan Miftah untuk menjadi pengamen yang masuk komplek, keluar komplek adalah pilihan tepat ketika kantong celana sedang kering. Emang waktu itu kita  bener-bener ga punya uang. Gue merasa Nyak belum bisa  memenuhi kebutuhan gue. Padahal kebutuhan gue ga muluk-muluk kok. Gue hanya ingin berkecukupan. Mau makan dan minum cukup, kebutuhan kuliah terpenuhi, bisa jajan, berkecukupan untuk membeli Honda Jazz, emas batangan, rumah gedongan, motor Ninja, dan berbagai aksesoris lainnya. Cuma itu yang gue mau, tapi kenapa Nyak ga bisa memenuhi kebutuhan tersebut? Padahal keinginan gue sederhana kan?

            Memang gue itu tipe orang yang sangat sederhana. Jadi, keinginan gue, yaa segitu aja. Ga kurang, kalau  lebih ga papa, hahaha. Tapi  apa bisa dengan mengamen gue mendapatkan semua keinginan itu? hmm, Udahlah ! Kaga usah lo pikirin keinginan itu. Yang jelas, gue dan Miftah ngamen cuma karena terdesak dan bukan profesi kita sesungguhnya. Yah,  lo taulah gue penulis, sementara Miftah pemain drum di salah satu band yang pasti lo ga tau nama bandnya, personilnya siapa, dan lagunya bagaimana. Emang band itu masih abstrak banget. Gimana ga abstrak coba? Mereka itu ngebandnya angin-anginan. Kalau lagi semangat, tiap hari ke studio; tapi kalau lagi madesu, ngumpul aja kaga. Gue juga ragu mereka pernah nyiptain lagu atau engga. Soalnya setiap ngeband, lagu yang dimainin itu itu mulu, ga pernah ganti. Udah gitu, si Buduk yang katanya sang gitaris, kalau lagi ngeband; disibukan dengan HP. Hahaha lo mau ngeband apa SMSan?! Katanya si lagi SMSan sama Lisa anaknya pak Lurah. Biasalah, Buduk mah modus gembel.  Padahal gue udah tau, kalau Lisa ga bakal mau sama tuh bocah. Gue tau, bukan berarti gue punya ilmu hitam kayak Ki Joko Oon, atau karena Lisa pernah ngasih tau gue tentang perasaannya ke Buduk. Melainkan, gue hanya bermain logika. Yaa secara, Lisa itu wajahnya cantik kayak Luna Manyun, bodynya ga beda jauh dengan Christina Gagulera, hatinya baik bagaikan bidadari berbulu domba, anak Pak Lurah pula, hmm pokoknya Lisa terlihat sangat sempurna deh. Sedangkan Buduk, tampang pas-pasan, kerjaan ngablu, yah walaupun dia jago memetik gitar, emang  Lisa mau dikasih makan pake gitar?! Hahaha. Kalau seandainya si Buduk ternyata berjodoh dengan Lisa dan pada akhirnya mereka menikah; sumpah, gue bakal bikin cerpen dengan judul “Si Buruk Rupa yang Beruntung” hahaha piece duk. :p
           
            Udah-udah ! Kok jadi nyeritain Buduk dan Lisa. Ga penting juga mereka jadi atau engga. Mau ga jadi syukur, kalau jadi na’udzubillah, hahaha.  Sekarang mending kita balik ke benang merah !
           
            Saat itu, sedang liburan sekolah. Mungkin bagi kalian, liburan sekolah merupakan momentum yang sangat cocok untuk berekreasi dengan keluarga dan teman-teman. Kalian dapat merefresh otak, bersenang-senang, dan melepaskan semua beban dengan berbagai wahana hiburan yang tersedia. Gue sebenarnya juga ingin kayak kalian yang dapat menikmati liburan dengan agenda yang menyenangkan. Namun apa boleh buat, gue hanya anak seorang pedagang nasi uduk yang tidak boleh membebani orangtua dengan sesuatu yang memberatkan. Hingga akhirnya, pada liburan kali ini; gue dengan teman senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan; yakni, Miftah Awaludin Asafari memutuskan untuk menjadi pengamen.
           
            Kita janjian untuk berangkat ngamen jam 7 tepat. Gue yang nyamper Miftah ke rumahnya, dan langsung capcus !

“Mif, gue yang ke rumah lo ni?” Tanya gue.
“Yaiyalah, lo yang ke rumah gue, kan kita ngamennya di komplek elit  deket rumah gue !” Jawabnya sedikit membentak.
“Yowis, besok gue ke rumah lo, abis itu langsung tancap !” Ucap gue diiringi dengan semangat.

            Keesokan harinya, gue nyamper Miftah, Motor gue tinggal di rumahnya, dan kita menelusuri komplek dengan berjalan kaki. Syukur alhamdulillah, Atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan keinginan luhur, akhirnya rumah pertama yang kita singgahi memberi uang; walaupun cuma 500 perak.

“Ahhh, pelit bener tuh orang ! Rumah tingkat 3, ngasih  cuma gope. Apa-apaan ini?!” Gerutu gue karena kesel.
“Inilah yang disebut nyari duit Tar, butuh pengorbanan.” Ujar Miftah.
“Iye iye.” Mengangguk 3 kali.

            Satu persatu rumah kelas elit kita kunjungi dengan lantunan nada indah. Namun, tak satu pun di antara mereka yang rela mengikhlaskan uang seratus ribuan merah untuk dinafkahkan kepada kita. (yaiyalah bego ! Mana ada orang ngamen dikasih Rp. 100.000, kalau lo mau uang segitu dengan sekejap, kaga usah ngamen. Mending lo ngepet atau ternak tuyul aja sekalian. Hahahaha).
           
            Matahari telah meninggi, pori-pori kulit kian terbuka lebar, dan hasrat untuk mengistirahatkan tubuh tak terbedung lagi. Sehingga, kami memutuskan untuk Sholat Zhuhur dan beristirahat di Musholah sembari makan, minum di dalamnya.

“Mif, mending sekarang kita istirahat ! Kalau kepanasan terus kayak gini, bisa-bisa kulit gue yang mulus kayak kulit bayi, nanti angus hahahaha.” Ujar gue.
‘Hah? *shock, Iya bener banget tuh, kulit lo kayak kulit bayi. Tapi kulit bayi biawak, hahahahaha” Miftah tertawa ternahak-bahak.
“ehhhbuseh, lo tuh kayak kulit landak ! hahaha, yaudah kita sholat dulu abis itu makan deh.” Tukas gue sambil merangkul Miftah.

            Setelah istirahat, kami langsung melanjutkan perjalanan kembali. Terik matahari yang menyengat, tak menyurutkan semangat kami untuk terus mencari picisan dan lembaran uang demi terpenuhinya kebutuhan hidup.

            Di perjalanan, Miftah melihat suatu warung yang di dalamnya ada seorang berambut panjang dengan memakai kebaya layaknya seorang gadis desa nan lugu. Sehingga tanpa berbasa basi lagi, Miftah ngajak gue ke warung itu; hanya untuk sekedar modus.

“Tar... Tar.... Lu liat deh di warung depan sana !” Tukas Miftah sambil nunjuk ke depan.
“Ada apaan si?” Tengok penasaran.
“ada cewek; kayaknya cantik tuh, ke sana yuk !” Ajak Miftah.
“Yaelah, males ah, ngejar setoran ni !” Pungkas gue.
“Sebentar doang Tar, kita pura-pura ngeteh aja di sana.” Jawab Miftah.

            Dengan sangat terpaksa gue harus memenuhi keinginan Miftah. Sebenarnya, gue udah punya firasat buruk tentang semua ini. Kenapa? Karena gue mikir, kok cewek badannya tinggi besar kayak petinju kelas berat. Udah gitu, ngapain juga cewek desa yang cantik dan lugu nongkrong di warung. Emang kerjaan rumah tuh cewek bisa kelar tanpa ada yang ngerjain? Terus kalau cewek itu nongkrong di warung, gue harus bilang wow gitu?? Hahaha

            Kami berjalan perlahan-lahan dengan pasti untuk menuju warung tersebut. Rasa penasaran gue dan Miftah semakin memuncak ketika sampai di depan warung. Secantik apa si cewek ini? Suaranya pasti lembut, tangannya halus, lemah gemulai bagaikan Syahrini si penyanyi kondang. Dan lo tau? Semua dugaan kita hancur seketika bagai debu yang bertebangan, ketika orang itu menengokan wajahnya. MasayaaAllah, ternyata ia adalah banci prapatan yang suka mangkal di jembatan. Hahaha pantesan aja nongkrongnya di warung. Gue dan Miftah langsung ngibrit, setelah tau ternyata makhluk itu hanyalah sebatang banci yang seprofesi dengan kita, yaitu pengamen. Hahaha

“Ahhh elu, gue bilang juga apa?! Kita ga usah deh pake mampir segala ke warung. Gini nih akibatnya. Makan tuh cewek jadi-jadian ! Inget Mif, misi kita nyari duit, bukan main-main !” Ujar gue dengan marah-marah.
“Iya iya,  sorry Tar.” Jawab Miftah dengan nada yang sendu.
“Udah kita lanjutin lagi ngamennya, tuh rumah pintunya kebuka.” Ajak gue.

            Jreng….jreng…jreng….jreng walau badai menghadang, ingatlah ku kan selalu setia menjagamu, berdua kita lewati jalan yang berliku tajam….

“Maaf bang.” Jawab sang pemilik rumah.

            Sumpah, miris banget kalau udah dimaafin kayak gitu. Kayaknya gue hina banget yaa? Dibilang minta-minta, tapi gue juga merasa menjual suara. Hahaha  sampai-sampai suara udah diobral kaga ada juga yang mau beli. Sib….nasib.

            Apa ini yang disebut mencari uang? Apa ini yang dibilang membanting tulang? Entahlah, sejujurnya gue mendapatkan pelajaran yang sangat berharga pada liburan kali ini. Gue jadi tau hakikat perjuangan mencari uang sesungguhnya. Selain itu, gue juga belajar bagaimana caranya menyelesaikan suatu permasalahan, ketika kita sedang dalam keadaan terdesak. Pokoknya banyak deh, ibrah yang gue dapat dari perjalanan ini.
                                                                                                                             
            Kami pulang dengan membawa uang sebesar Rp. 20.000. Jumlah uang ini, sangat tidak sebanding dengan pengorbanan yang kami lakukan dari pagi sampai sore. But, I don’t care, yang penting hikmah di balik perjalanan ini dapat kami petik dan rasakan dampaknnya dalam kehidupan.
           

            Jadi, mulai sekarang kita harus dapat menghargai besar atau kecilnya uang, dan juga menghargai orang-orang yang memberikan penghidupan kepada kita dengan uang mereka. Entah itu orangtua, kakak, paman, bibi, dan sebagainya. Dengan begitu, pasti keberkahan dan rejeki akan terus mengalir kepada kita, seiring dengan usaha yang kita lakukan.
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar