Terkadang di dalam hidup, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan. Memilih
sesuatu yang tepat memang membutuhkan proses. Proses berpikir, menghayati, dan
bersikap bijaksana dengan segala keterbatasan; tentu membuat kita semakin
dewasa dan menyadari hakikat kehidupan ini. Yah, apa pun aktivitas yang kita
lakukan, ga ada yang hina kok, selama itu tidak melanggar norma-norma dan hukum
yang berlaku. Oleh karena itu, pilihan gue dan Miftah untuk menjadi pengamen
yang masuk komplek, keluar komplek adalah pilihan tepat ketika kantong celana
sedang kering. Emang waktu itu kita bener-bener ga punya uang. Gue merasa Nyak belum
bisa memenuhi kebutuhan gue. Padahal
kebutuhan gue ga muluk-muluk kok. Gue hanya ingin berkecukupan. Mau makan dan
minum cukup, kebutuhan kuliah terpenuhi, bisa jajan, berkecukupan untuk membeli
Honda Jazz, emas batangan, rumah gedongan, motor Ninja, dan berbagai aksesoris
lainnya. Cuma itu yang gue mau, tapi kenapa Nyak ga bisa memenuhi kebutuhan
tersebut? Padahal keinginan gue sederhana kan?
Memang gue itu tipe orang
yang sangat sederhana. Jadi, keinginan gue, yaa segitu aja. Ga kurang, kalau lebih ga papa, hahaha. Tapi apa bisa dengan mengamen gue mendapatkan
semua keinginan itu? hmm, Udahlah ! Kaga usah lo pikirin keinginan itu. Yang
jelas, gue dan Miftah ngamen cuma karena terdesak dan bukan profesi kita
sesungguhnya. Yah, lo taulah gue
penulis, sementara Miftah pemain drum di salah satu band yang pasti lo ga tau
nama bandnya, personilnya siapa, dan lagunya bagaimana. Emang band itu masih
abstrak banget. Gimana ga abstrak coba? Mereka itu ngebandnya angin-anginan.
Kalau lagi semangat, tiap hari ke studio; tapi kalau lagi madesu, ngumpul aja
kaga. Gue juga ragu mereka pernah nyiptain lagu atau engga. Soalnya setiap ngeband,
lagu yang dimainin itu itu mulu, ga pernah ganti. Udah gitu, si Buduk yang katanya
sang gitaris, kalau lagi ngeband; disibukan dengan HP. Hahaha lo mau ngeband
apa SMSan?! Katanya si lagi SMSan sama Lisa anaknya pak Lurah. Biasalah, Buduk
mah modus gembel. Padahal gue udah tau,
kalau Lisa ga bakal mau sama tuh bocah. Gue tau, bukan berarti gue punya ilmu
hitam kayak Ki Joko Oon, atau karena Lisa pernah ngasih tau gue tentang
perasaannya ke Buduk. Melainkan, gue hanya bermain logika. Yaa secara, Lisa itu
wajahnya cantik kayak Luna Manyun, bodynya
ga beda jauh dengan Christina Gagulera, hatinya baik bagaikan bidadari berbulu
domba, anak Pak Lurah pula, hmm pokoknya Lisa terlihat sangat sempurna deh.
Sedangkan Buduk, tampang pas-pasan, kerjaan ngablu, yah walaupun dia jago
memetik gitar, emang Lisa mau dikasih
makan pake gitar?! Hahaha. Kalau seandainya si Buduk ternyata berjodoh dengan
Lisa dan pada akhirnya mereka menikah; sumpah, gue bakal bikin cerpen dengan
judul “Si Buruk Rupa yang Beruntung” hahaha piece duk. :p
Udah-udah ! Kok jadi
nyeritain Buduk dan Lisa. Ga penting juga mereka jadi atau engga. Mau ga jadi
syukur, kalau jadi na’udzubillah,
hahaha. Sekarang mending kita balik ke
benang merah !
Saat itu, sedang liburan
sekolah. Mungkin bagi kalian, liburan sekolah merupakan momentum yang sangat
cocok untuk berekreasi dengan keluarga dan teman-teman. Kalian dapat merefresh
otak, bersenang-senang, dan melepaskan semua beban dengan berbagai wahana
hiburan yang tersedia. Gue sebenarnya juga ingin kayak kalian yang dapat
menikmati liburan dengan agenda yang menyenangkan. Namun apa boleh buat, gue
hanya anak seorang pedagang nasi uduk yang tidak boleh membebani orangtua
dengan sesuatu yang memberatkan. Hingga akhirnya, pada liburan kali ini; gue dengan
teman senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan; yakni, Miftah Awaludin Asafari
memutuskan untuk menjadi pengamen.
Kita janjian untuk
berangkat ngamen jam 7 tepat. Gue yang nyamper Miftah ke rumahnya, dan langsung
capcus !
“Mif, gue yang ke rumah lo ni?” Tanya gue.
“Yaiyalah, lo yang ke rumah gue, kan kita ngamennya di komplek elit deket rumah gue !” Jawabnya sedikit
membentak.
“Yowis, besok gue ke rumah lo, abis itu langsung tancap !” Ucap gue
diiringi dengan semangat.
Keesokan harinya, gue nyamper
Miftah, Motor gue tinggal di rumahnya, dan kita menelusuri komplek dengan
berjalan kaki. Syukur alhamdulillah,
Atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan keinginan luhur, akhirnya rumah
pertama yang kita singgahi memberi uang; walaupun cuma 500 perak.
“Ahhh, pelit bener tuh orang ! Rumah tingkat 3, ngasih cuma gope. Apa-apaan ini?!” Gerutu gue karena
kesel.
“Inilah yang disebut nyari duit Tar, butuh pengorbanan.” Ujar Miftah.
“Iye iye.” Mengangguk 3 kali.
Satu persatu rumah kelas
elit kita kunjungi dengan lantunan nada indah. Namun, tak satu pun di antara
mereka yang rela mengikhlaskan uang seratus ribuan merah untuk dinafkahkan
kepada kita. (yaiyalah bego ! Mana ada orang ngamen dikasih Rp. 100.000, kalau
lo mau uang segitu dengan sekejap, kaga usah ngamen. Mending lo ngepet atau
ternak tuyul aja sekalian. Hahahaha).
Matahari telah meninggi,
pori-pori kulit kian terbuka lebar, dan hasrat untuk mengistirahatkan tubuh tak
terbedung lagi. Sehingga, kami memutuskan untuk Sholat Zhuhur dan beristirahat
di Musholah sembari makan, minum di dalamnya.
“Mif, mending sekarang kita istirahat ! Kalau kepanasan terus kayak gini,
bisa-bisa kulit gue yang mulus kayak kulit bayi, nanti angus hahahaha.” Ujar
gue.
‘Hah? *shock, Iya bener banget tuh, kulit lo kayak kulit bayi. Tapi kulit bayi
biawak, hahahahaha” Miftah tertawa ternahak-bahak.
“ehhhbuseh, lo tuh kayak kulit landak ! hahaha, yaudah kita sholat dulu
abis itu makan deh.” Tukas gue sambil merangkul Miftah.
Setelah istirahat, kami
langsung melanjutkan perjalanan kembali. Terik matahari yang menyengat, tak
menyurutkan semangat kami untuk terus mencari picisan dan lembaran uang demi
terpenuhinya kebutuhan hidup.
Di perjalanan, Miftah
melihat suatu warung yang di dalamnya ada seorang berambut panjang dengan
memakai kebaya layaknya seorang gadis desa nan lugu. Sehingga tanpa berbasa
basi lagi, Miftah ngajak gue ke warung itu; hanya untuk sekedar modus.
“Tar... Tar.... Lu liat deh di warung depan sana !” Tukas Miftah sambil
nunjuk ke depan.
“Ada apaan si?” Tengok penasaran.
“ada cewek; kayaknya cantik tuh, ke sana yuk !” Ajak Miftah.
“Yaelah, males ah, ngejar setoran ni !” Pungkas gue.
“Sebentar doang Tar, kita pura-pura ngeteh aja di sana.” Jawab Miftah.
Dengan sangat terpaksa gue
harus memenuhi keinginan Miftah. Sebenarnya, gue udah punya firasat buruk
tentang semua ini. Kenapa? Karena gue mikir, kok cewek badannya tinggi besar
kayak petinju kelas berat. Udah gitu, ngapain juga cewek desa yang cantik dan
lugu nongkrong di warung. Emang kerjaan rumah tuh cewek bisa kelar tanpa ada
yang ngerjain? Terus kalau cewek itu nongkrong di warung, gue harus bilang wow
gitu?? Hahaha
Kami berjalan
perlahan-lahan dengan pasti untuk menuju warung tersebut. Rasa penasaran gue
dan Miftah semakin memuncak ketika sampai di depan warung. Secantik apa si
cewek ini? Suaranya pasti lembut, tangannya halus, lemah gemulai bagaikan
Syahrini si penyanyi kondang. Dan lo tau? Semua dugaan kita hancur seketika
bagai debu yang bertebangan, ketika orang itu menengokan wajahnya. MasayaaAllah, ternyata ia adalah
banci prapatan yang suka mangkal di jembatan. Hahaha pantesan aja nongkrongnya
di warung. Gue dan Miftah langsung ngibrit, setelah tau ternyata makhluk itu
hanyalah sebatang banci yang seprofesi dengan kita, yaitu pengamen. Hahaha
“Ahhh elu, gue bilang juga apa?!
Kita ga usah deh pake mampir segala ke warung. Gini nih akibatnya. Makan tuh
cewek jadi-jadian ! Inget Mif, misi kita nyari duit, bukan main-main !” Ujar
gue dengan marah-marah.
“Iya iya, sorry Tar.” Jawab Miftah dengan nada yang
sendu.
“Udah kita lanjutin lagi
ngamennya, tuh rumah pintunya kebuka.” Ajak gue.
Jreng….jreng…jreng….jreng
walau badai menghadang, ingatlah ku kan
selalu setia menjagamu, berdua kita lewati jalan yang berliku tajam….
“Maaf bang.” Jawab sang pemilik
rumah.
Sumpah,
miris banget kalau udah dimaafin kayak gitu. Kayaknya gue hina banget yaa?
Dibilang minta-minta, tapi gue juga merasa menjual suara. Hahaha sampai-sampai suara udah diobral kaga ada
juga yang mau beli. Sib….nasib.
Apa
ini yang disebut mencari uang? Apa ini yang dibilang membanting tulang?
Entahlah, sejujurnya gue mendapatkan pelajaran yang sangat berharga pada
liburan kali ini. Gue jadi tau hakikat perjuangan mencari uang sesungguhnya.
Selain itu, gue juga belajar bagaimana caranya menyelesaikan suatu
permasalahan, ketika kita sedang dalam keadaan terdesak. Pokoknya banyak deh,
ibrah yang gue dapat dari perjalanan ini.
Kami
pulang dengan membawa uang sebesar Rp. 20.000. Jumlah uang ini, sangat tidak
sebanding dengan pengorbanan yang kami lakukan dari pagi sampai sore. But, I don’t care, yang penting hikmah
di balik perjalanan ini dapat kami petik dan rasakan dampaknnya dalam
kehidupan.
Jadi,
mulai sekarang kita harus dapat menghargai besar atau kecilnya uang, dan juga menghargai
orang-orang yang memberikan penghidupan kepada kita dengan uang mereka. Entah
itu orangtua, kakak, paman, bibi, dan sebagainya. Dengan begitu, pasti keberkahan
dan rejeki akan terus mengalir kepada kita, seiring dengan usaha yang kita
lakukan.